Friday, August 17, 2007

Antara Pulang dan Tali-tali Cintaku

Honestly... Yah secara memang dalam menulis sebaiknya kita jujur, meski tidak membeberkan semua fakta, aku ngga yakin apa aku benar-benar ingin pulang.

Tanggal 27 aku akan meninggalkan kota kecil Califórnia ini. Naik bis malam ke São Paulo, di mana tanggal 28-nya Kak Sinta akan menjemputku, dan kami akan menghabiskan waktu beberapa hari di sana, di kotanya. Mengenal kotanya, katanya. Lalu tanggal 2 September aku akan terbang. Terbang tinggi, terbang jauh, sampai mendarat dan dipeluk ciuman sahabat-sahabat dan keluargaku di Soekarno-Hatta, tanggal 4 September. Rencana yang sempurna.

"Aku sudah bosan di sini, Ma." "Tidak ada lagi yang bisa kulakukan." "Aku merasa hidupku tersendat." "Brasil itu dalam beberapa segi sangatlah menyebalkan."

Dalam satu bulan ini seingatku hanya itulah yang kulaporkan ke rumah sebagai berita. Kemudian Mama mengkhawatirkan keberadaanku, Papa melonjak kegirangan karena berarti kepulanganku semakin dekat, dan adikku seperti biasa selalu biasa-biasa saja reaksinya.

Tapi anehnya, semakin dekat hariku pulang, tali-tali cinta yang kulemparkan di sana-sini kini tersambut, dan mengikatku di banyak tempat. Minggu lalu kuhadiri sebuah festival country di Apucarana. Ah, manisnya teman-temanku! Begitu banyak yang menanyakan kabarku, kembali memperhatikanku, memeluk dan melilitku dengan perhatian mereka. Kemarin aku ada di Apucarana, menonton Ratatouille bersama beberapa teman. Filmnya lucu, tapi bukan itu yang istimewa. Saat kami duduk bersama setelah film, menikmati sandwich dan bertukar kata-kata, kembali tali cinta itu menarik keras hatiku. Wajah-wajah sedih itu, rengutan manis dari teman-teman wanitaku... Ah Tuhan, sekarang aku mengerti apa yang Zulaika katakan ketika dia ingin "membawa orang-orang Brasil ini ke Indonesia"!

Friends. Amigos. Teman-teman. Aaaghh!!

Mengapa justru di hari-hari terakhir aku merasa dicintai? Mungkinkah karena aku lebih sering keluar rumah, bertemu lebih banyak orang di hari-hari terakhir ini, dan semakin banyak teman-teman yang "mencintaiku kembali"? Mungkinkah dalam pergaulan orang-orang Brasil ini, yang terpenting hanyalah kesan pertama dan kesan terakhir? Banyak "teman-teman"ku yang kukenal tidak lama, bahkan kami hanya pernah bertemu satu kali, dan ketika kuminta ia menandatangani bendera Brazilku, dituliskannya, "Samuka, grande amigo... meu irmão... uma pessoa super legal..." yang artinya, "Samuel, teman baikku... saudaraku... seorang yang sangat keren..." yang tentu gw baca dengan girang, tapi dalam hati, wadehel...

Kalau memang itu yang terjadi di tempat ini, tidak ada seorangpun di Brasil yang pernah merasakan persahabatan sejati! Bersahabat bagi mereka adalah kedekatan dengan kata-kata manis, yang dipererat dengan pesta-pesta dan berkaleng-kaleng bir. Oh ya, aku yakin ada saja yang benar-benar bersahabat sepertiku di Indonesia dengan sahabat-sahabatku, misalnya, tapi mungkin merekalah minoritasnya.

Teringat kembali juga hal lain, dua hari yang lalu, Ana Paula, saat kami baru keluar dari bioskop, ia bercerita pada kami semua. "Kalian tahu sejak kapan aku tahu Samuel itu orangnya keren?" Dalam hati aku tidak tahu jawabannya. Rasanya persahabatan dan "kekerenan" seorang teman itu tidak bisa dikatakan dengan "sejak kapan" deh. Tapi Ana melanjutkan. "Saat aku kehilangan anjingku, lalu kami ngobrol di Internet dan dia menghiburku dengan cerita lucu tentang anjingnya yang kutuan dan lalu dijual papanya... yang akhirnya dimasak sama yang beli." Well tentu saja tidak sevulgar itu dia berbicara. Kuterjemahkan bebas agar mudah dimengerti.

This is Ana. Ana and the King. Halah halah...

Nah, point-nya di sini... Betapa mudahnya membuat gadis-gadis kaukasian ini terkesan, bila demikian?! Lakukan sesuatu yang manis, hibur mereka di saat yang tepat, dan mereka akan katakan, "kau keren." Entah merekanya yang terlalu polos atau gadis-gadis Indonesia yang menuntut terlalu banyak.

Well, oke. Cukup cerita tentang "cara bersahabat" mereka yang unik di tempat ini. Kembali ke topik awal tadi... Di samping aku merasa berat hati untuk pulang, tapi aku juga tahu banyak tantangan dan hal-hal baru yang menantiku di Indonesia untuk kutaklukkan... Tapi meninggalkan mereka yang kucintai di sini benar-benar membuatku pusing kepala. Hmmm... Tapi tetap aku mesti pulang kan? Kursi di pesawat sudah ditandai, tiket bis ke São Paulo tinggal dibeli... Yah Sam, nikmatilah saja sisa hari ini. Sambil tetap membawa kasih Kristus tentunya. Carpe diem.

Thursday, August 16, 2007

united.in.brazil.


About three weeks ago, on the 28th of July, Hillsong United began their tour in South America. Their first destination was Brazil, coming here the second time, according to what my friends said. Their first destination was Sao Paulo, a huge city which is kinda close to my city here in Brazil, about six hours by car.

I, as... Hmm... can I say "fans"? Well it is some Christian band, and we can't make idol out of anything except Christ. Hahaha... Well.. let's just say supporter. I have been listening Hillsong Church's music for a long time, since Darlene was still a young woman, she still jumped high, and United was still an embryo. So I kinda know a lot about this church and their growth, and of course, their quality of music.

Well I could talk about Hillsong this whole post, but it wasn't the purpose of my writing this time. I am doing a small, a little out dated report about the concert.

I got the ticket for this concert about like, a month before. Brazilian are, when they are crazy about something, they are really crazy about it. OBSESSED. About three or four months before the show, there were already an official website, bunch of fan communities in orkut, Brazil's myspace, where people talk and discuss fan matters, like, does Joel Houston really looks like He-Man and have eyes like fish, is Marty Sampson coming with the United team for this tour, and really many others insignificant (for me) fan matters. It just doesn't feel right for me, I mean, this United thing is not exactly a band, and they are touring around the world is not exactly looking for fans and popularity - although it helps them a lot - but they are traveling around the world to see God call His people back to Him. It's totally not about them, it's about Jesus Christ. I hope these crazy fans' eyes will be opened one day.

So anyway, day 27th, at night, we all went off for our journey to Sao Paulo. There were me, Marcio, Denise, Chico, Camila, and Camila's mother, that made six of us. We went with a van from Londrina, embarking about midnight.

In front of our van, before embarking.

The travel was bumpy in many places, was also cold and tiring, and we went resting in one or two places. Approaching Sao Paulo, about two o'clock in the morning, a police officer stopped us. We were all scared, thinking of the worst to happen, but funny thing was, the police only needed a ride. We agreed to take him to Sao Paulo. "Ajuda com sua segurança tambem," he said. "Helps with your safety too."

It was not because we gave the police officer a lift, of course, but our safety was secured. God was with us. Arrived safely and early in Anhembi Arena, about 7 o'clock in one really foggy and cold morning. To my disbelief, there were already people there, queuing for the line. We stopped and talk, and some even more shocking news, some told us that they've been there since 11 o'clock last night. That is so.. crazy. And it's not that they're crazy about Jesus, I'm sure. They're crazy about the band.

So, seeing there were yet no massive queue formed at the arena, we decided to clean up and freshen up at the mall. We went to Central Norte, a huge mall close to the Anhembi Arena. I had the video, if only the incident with my second host brother that involves the lost of my 1.5 GB of photos and videos didn't happen, I could've shown you the video. But well... What's lost it lost, right?

Well, everybody got freshened up, we went around the mall a little bit, did some shopping (I bought this cool red t-shirt for 25 R$), and finally at lunch time we ate at the foodcourt. It was super expensive. I wasted about 20 R$ for a plate of meal and a glass of sweet tea. Yeah, imagine Jakarta's mall, only with stronger money value.

After lunch, we went back to the arena at about two o'clock. The band was having a check-sound, and it animated me and Camila to be quickly stand on the line. But to my surprise again, there were already this huge line of people, forming about 300 meters. We walked so far from the gate to finally meet the end of the line.

At the line, many things happened. United we stood, united we thirsted, united we hungered, and got tired, from about 2 until 6 PM. The gate was to be opened at 4, but for some reasons, it wasn't opened until 6 PM. And standing there, we talked to many people, found people that are yet even crazier about the band rather than Jesus. They talked about Joel, Marty, and JD as if they were gods, and most of this disappoint me. If United said that the greatest crowd, the most animated ones they found in Brazil, I would say that probably this is because the people are animated about the band, not about Jesus. I didn't find any of these people standing in line maintaining their attitude, some even yell out in anger and frustration when the gate were not being opened, rubbish were being thrown to the ground and traffic are disturbed. No offense to Brazilian United fans, but their attitude is totally different than the polite attitude shown by Indonesian in the United concert last year.

I got to know a Bolivian family. The mother was a Bolivian, and the father (who wasn't there) was a Brazilian. They went to Singapore to study, and their children speaks amazing English. I made friend with Oneide, their oldest daughter, a very nice girl with a godly attitude. This family had this passion about building their own church, and is praying that God will provide everything they needed. It's always amazing to see people that are totally walking in faith.

I also talked to the security guy, through the wall bars. Commented about the members of the United band, he said Jad Gillies is the most annoying one. Putting on serious face all the time, not willing to sign autograph for him, the security guy was so disappointed. On the other hand, he said Joel Houston shown the most sympathy. They talked a lot, shared about church ministry and the band. But yeah, people are different. Maybe Jad is the serious one, and Joel is the happy one, and JD is the mad one, but all of them serve the same God and bear the same purpose.

Well... I'll just skip to the gate opening. As we began to walk into the arena, it started to rain. People bought rain caps, which were only 5 R$ for 2, now they sell it for 1 only. It's amazing how need and money contradicts at this point. We however, bought the cap long before the rain.

The arena was full, large, and open air. It was raining, really cold, and there were fog in the air. But when the band started to play, everything went fun, everyone got heated up and forgot all that.

United started again with the classic Introduction + The Time Has Come. This is cool but in the same time I guess it's disappointing, because it's been like two years must be now, and they should have find a new creative way to start a show. But it was still hip though. People were crazily animated.

We jumped from song to song, then Jad started the worship session with Take All Of Me. All of a sudden, singing this song and taking to heart, I felt a huge mass of presence of God. All of a sudden I felt so alone. Lose all the music, the fans screaming, and even the song, and it's all just me and God.

I think that is indeed the core of worship. It's not about the music, the band, a good song, or even singing itself. Worship is a life that glorifies God, no matter what happen in it. You could worship in the midst of happiness, you could worship in the rain of blessing, but you must more importantly worship through the storm of desperation.

Yeah, to say it short, the rest of the night was awesome, just like every United concert. The worship was marvelous. I felt that day like I found again the reason for living. Like I found again the braveness to stand up for Jesus, to be a difference in my community and daily life. To be a Christian is to be a brave generation, said Phil Dooley. I sure hope many Brazilian will receive the message too, as a brother from Indonesia I really want to see God's movement going on strong through the whole world.

Some shots from the night. It was raining heavily, yet amazing to see all these people gather together for Jesus.

So yeah, the night was great. The concert ended about 11 PM, with three encore songs and a guitar sorting. We didn't participate because we didn't have a pen to write the sorting ticket. Silly, huh. =)

Then we took off. I visited the United stand at the back of the auditorium, bought a T-Shirt, Phil Dooley's teaching CD, and got some information about the Hillsong College. About this last item, honestly, it really interest me a lot to get inside this Hillsong World... to learn from them, to serve with them, and then to bring the knowledge I would get there back to Indonesia. But it's still a thought. I really need to pray more about my future.

So then we go on the van. Another 6 hours journey through the night to get back to our cities. Honestly, I feel blessed, but in the same way I felt sad. I really know that if I go to this concert with my youth friends in Indonesia, in many ways we will reflect on our Christian lives, get something different for our youth group, and be more creative. No offense, but it seems like all that the people in my group paid attention to that day was why Marty Sampson wasn't coming.



But still, this concert was a 10. I really want to be a part of something big like this one day. Faithful, to say? Yeah, sort of. God, thank you for this heart-changing experience. I love You.

Friday, August 10, 2007

"Papa Baca yang Keras ya..."

Pada suatu malam Budi, seorang eksekutif sukses, seperti biasanya sibuk memperhatikan berkas-berkas pekerjaan kantor yang dibawanya pulang ke rumah, karena keesokan harinya ada rapat umum yang sangat penting dengan para pemegang saham. Ketika ia sedang asyik
menyeleksi dokumen kantor tersebut, Putrinya Jessica datang mendekatinya, berdiri tepat disampingnya, sambil memegang buku cerita baru.

Buku itu bergambar seorang peri kecil yang imut, sangat menarik perhatian Jessica, "Pa liat!" Jessica berusaha menarik perhatian ayahnya. Budi menengok ke arahnya, sambil menurunkan kaca matanya, kalimat yang keluar hanyalah kalimat basa-basi "Wah, buku baru ya Jes?",
"Ya papa" Jessica berseri-seri karena merasa ada tanggapan dari ayahnya. "Bacain Jessi dong pa" pinta Jessica lembut,
"Wah papa sedang sibuk sekali, jangan sekarang deh" sanggah budi dengan cepat. Lalu ia segera mengalihkan perhatian nya pada kertas-kertas yang berserakkan didepannya, dengan serius.

Jessica bengong sejenak, namun ia belum menyerah. Dengan suara lembut dan sedikit manja
ia kembali merayu "pa, mama bilang papa mau baca untuk jessi"
Budi mulai agak kesal, "Jes papa sibuk, sekarang Jessi suruh mama baca ya"
"pa, mama cibuk, terus, papa liat gambarnya lucu-lucu", "Lain kali Jessica, sana! papa lagi banyak kerjaan"
Budi berusaha memusatkan perhatiannya pada lembar-lembar kertas tadi, menit demi menit berlalu, Jessica menarik nafas panjang dan tetap disitu, berdiri ditempatnya penuh harap, dan tiba -tiba ia mulai lagi. "pa,.. gambarnya bagus, papa pasti suka", "Jessica, PAPA BILANG, LAIN KALI !! " kata Budi membentaknya dengan keras. Kali ini Budi berhasil, semangat Jessica kecil
terkulai, hampir menangis, matanya berkaca-kaca dan ia bergeser menjauhi ayahnya " Iya
pa,. lain kali ya pa?" Ia masih sempat mendekati ayahnya dan sambil menyentuh lembut tangan ayahnya ia menaruh buku cerita di pangkuan sang Ayah. "pa kalau papa ada waktu, papa baca keras-keras ya pa, supaya Jessica bisa denger"

Hari demi hari telah berlalu, tanpa terasa dua pekan telah berlalu namun permintaan Jessica kecil tidak pernah terpenuhi, buku cerita Peri imut, belum pernah dibacakan bagi dirinya. Hingga suatu sore terdengar suara hentakan keras "Buukk!!" beberapa tetangga melaporkan dengan histeris bahwa Jessica kecil terlindas kendaraan seorang pemuda mabok yang melajukan kendaraannya dengan kencang didepan rumah Budi.

Tubuh Jessica mungil terhentak beberapa meter, dalam keadaan yang begitu panik ambulance
didatangkan secepatnya, selama perjalanan menuju rumah sakit, Jessica kecil sempat berkata
dengan begitu lirih "Jessi takut pa, jessi takut ma, Jessi sayang papa mama."
darah segar terus keluar dari mulutnya hingga ia tidak tertolong lagi ketika sesampainya di rumah sakit terdekat.

Kejadian hari itu begitu mengguncangkan hati nurani Budi, Tidak ada lagi waktu tersisa untuk memenuhi sebuah janji. Kini yang ada hanyalah penyesalan Permintaan sang buah hati yang
sangat sederhana pun tidak terpenuhi. Masih segar terbayang dalam ingatan budi tangan mungil anaknya yang memohon kepadanya untuk membacakan sebuah cerita, kini sentuhan itu terasa sangat berarti sekali, "...papa baca keras-keras ya pa, supaya Jessica bisa denger" kata-kata jessi terngiang-ngiang kembali.

Sore itu setelah segalanya telah berlalu, yang tersisa hanya keheningan dan kesunyian hati, canda dan riang Jessica kecil tidak akan terdengar lagi, Budi mulai membuka buku cerita peri imut yang diambilnya perlahan dari onggokan mainan Jessica di pojok ruangan. Bukunya
sudah tidak baru lagi, sampulnya sudah usang dan koyak. Beberapa coretan tak berbentuk
menghiasi lembar-lembar halamannya seperti sebuah kenangan indah dari Jessica kecil.
Budi menguatkan hati, dengan mata yang berkaca-kaca ia membuka halaman pertama dan membacanya dengan sura keras, tampak sekali ia berusaha membacanya dengan keras, Ia
terus membacanya dengan keras-keras halaman demi halaman, dengan berlinang air mata.

"Jessi dengar papa baca ya" selang beberapa kata, hatinya memohon lagi, "Jessi papa mohon ampun nak, papa sayang Jessi"

Seakan setiap kata dalam bacaan itu begitu menggores lubuk hatinya, tak kuasa menahan itu
Budi bersujut dan menagis, memohon satu kesempatan lagi untuk mencintai.

Seseorang yang mengasihi selalu mengalikan kesenangan dan membagi kesedihan kita, Ia selalu memberi PERHATIAN kepada kita, karena ia Peduli kepada kita.

ADAKAH "PERHATIAN TERBAIK" ITU BEGITU MAHAL BAGI MEREKA?

BERILAH "PERHATIAN TERBAIK" WALAUPUN ITU HANYA SEKALI

Bukankah Kesempatan untuk memberi perhatian kepada orang-orang yang kita cintai itu sangat berharga ?

DO IT NOW

Berilah "PERHATIAN TERBAIK" bagi mereka yang kita cintai LAKUKAN SEKARANG !! KARENA HANYA ADA SATU KESEMPATAN UNTUK MEMPERHATIKAN DENGAN HATI KITA

Tuhan memberkati.

Thursday, August 9, 2007

A Nice Story

Beberapa tahun yang lalu, sekelompok
salesmen menghadiri pertemuan sales di
Chicago. Mereka telah meyakinkan
istri-istri mereka bahwa mereka akan
mempunyai cukup waktu untuk makan malam
bersama di rumah pada hari Jumat.

Namun, manager sales menghabiskan lebih
banyak waktu daripada yang telah
diperkirakan dan pertemuan berakhir
lebih lambat daripada yang telah
dijadwalkan. Akibatnya, dengan tiket
pesawat dan tas mereka di tangan, mereka
berlari menerobos pintu airport,
tergesa-gesa, mengejar penerbangan
mereka pulang. Ketika mereka sedang
berlari-lari, salah satu dari para
salesman ini tidak sengaja menendang
sebuah meja yang digunakan untuk menjual
apel. Dan apel-apel itu beterbangan.

Tanpa berhenti atau menoleh ke belakang,
mereka semua akhirnya berhasil masuk ke
dalam pesawat dalam detik-detik terakhir
pesawat itu tinggal landas.

Semua, kecuali seorang. Dia berhenti,
menghela napas panjang, bergumul dengan
perasaannya lalu tiba-tiba rasa kasihan
menyelimuti dirinya untuk gadis yang
menjual apel. Ia berkata kepada

rekan-rekannya untuk pergi tanpa
dirinya, melambaikan tangan, meminta
salah satu temannya untuk menelpon
istrinya ketika mereka sampai di tempat
tujuan untuk memberitahukan bahwa ia
akan mengambil penerbangan yang berikutnya.

Kemudian, ia kembali ke pintu terminal
yang berceceran dengan banyak sekali
buah apel di lantai.

Salesman ini merasa lega ketika ia tiba
disana. Gadis yang berumur 16 tahun ini
buta! Gadis tersebut sedang menangis
sesegukan, air matanya mengalir turun di
pipinya, dan gadis itu sedang berusaha
untuk meraih buah-buah apel yang
bertebaran diantara kerumunan
orang-orang yang bersliweran
disekitarnya, tanpa seorangpun berhenti,
ataupun cukup peduli untuk membantunya.

Salesman itu berlutut di lantai
disampingnya, mengumpulkan apel-apel
tersebut, menaruhnya kembali kedalam
keranjang dan membantu memajangnya di
meja seperti semula. Seketika itu, ia
menyadari bahwa banyak dari apel-apel
itu rusak, dan ia mengesampingkan apel
yang rusak
kedalam keranjang yang lain.

Setelah selesai, pria ini mengeluarkan
uang dari dompetnya dan berkata kepada
si gadis penjual, "Ini, ambillah Rp.
200.000 untuk semua kerusakan ini.
Apakah kau tidak apa-apa?"
Gadis itu mengangguk, masih berlinang
air mata.
Pria itu melanjutkan dengan berkata,
"Saya harap kita tidak merusak harimu
begitu parah."
Ketika pria ini mulai beranjak pergi,
gadis penjual yang buta ini
memanggilnya, "Tuan..."
Pria ini berhenti, dan menoleh ke
belakang untuk menatap kedua matanya
yang buta.
Gadis ini melanjutkan, "Apakah engkau
Yesus?"
Ia terpana. Kemudian, dengan langkah
yang lambat ia berjalan masuk untuk
mengejar penerbangan berikutnya. Dan
pertanyaan itu terus menerus berbicara
didalam hatinya, "Apakah kau Yesus?"

Apakah orang-orang mengira engkau Yesus?
Bukankah itu tujuan hidup kita?

Untuk menjadi serupa dengan Yesus
sehingga orang-orang tidak dapat melihat
perbedaannya ketika kita hidup dan
berinteraksi didalam dunia yang buta dan
tidak mampu melihat kasih, anugrah dan
kehidupanNya..

Jika kita mengakui bahwa kita mengenal
Dia, kita harus hidup, berjalan, dan
bertindak seperti Yesus. Mengenal Yesus
adalah lebih dalam daripada hanya
sekadar mengutip kata-kata dari Alkitab
dan pergi beribadah di gereja. Mengenal
Yesus adalah menghidupi FirmanNya hari
demi hari.

Anda adalah seperti buah apel tersebut
di mata Allah, meskipun kita rusak dan
menjadi cacat ketika kita terjatuh.
Allah berhenti mengerjakan apa yang
sedang Ia kerjakan, mengangkat Anda dan
saya ke suatu bukit yang bernama Kalvari
dan membayar penuh semua kerusakan kita.

Mari mulai jalani hidup sesuai dengan
harga yang telah dibayarkanNya.

Sunday, August 5, 2007

belajar dari anak kecil

tiba-tiba pengen nulis aja. jam di komputer menunjukkan pukul 11 kurang 20, sudah seharusnya aku tidur karena kepalaku yang pusing sejak kemarin. tapi keinginan berbagi cerita itu terlalu tinggi, dan kurasa bukan dosa bila kupaksakan sedikit jari-jariku membakar sedikit kalori yang tersisa untuk hari ini...

pernahkah kalian bertemu seseorang yang merasa dunia berputar untuk dirinya? seseorang yang hanya bisa mengangkat topik mengenai dirinya sendiri, membuat gerakan-gerakan aneh untuk memanggil perhatian orang-orang kepadanya, diam jika topik pembicaraan tidak mengenai dirinya?

aku sekarang hidup dengan seseorang seperti itu.

tidak tahu harus kesal atau tidak, sebab orang yang kumaksudkan kali ini adalah seorang anak kecil bernama José berumur 9 tahun, yang rumahnya kutumpangi sebagai keluarga asuh terakhir. tumbuh di sebuah keluarga sebagai anak bungsu, dengan kedua kakak-kakak yang umurnya jauh di atasnya, juga dua orang tua yang cukup sibuk, rasanya José kecil kurang perhatian. dengan kedatanganku, agaknya dia merasa akan mendapatkan teman main, buktinya hari pertamaku di rumah ini dipenuhi dengan dirinya. dia memberikanku gantungan kunci plastik untuk digantung di blazer super-norak Rotary-ku, dia mengajakku jalan-jalan, mengajakku main board-game, dan lain-lainnya... tapi tentu karena perbedaan umur yang jauh, tetap saja kami tidak bisa nyambung dengan baik.

lagian, adik cowok mah aku sudah ada di indonesia... ngga nyari lagi!!

dan agaknya hari-hari ini dia jadi kurang simpatik denganku. karena aku tidak lagi menunjukkan simpati pada jogetan-jogetan anehnya untuk menarik perhatian. karena aku tidak lagi duduk di sampingnya menunjukkan perhatian dan dukungan sementara dia dengan asyiknya menarikan jari-jarinya di game-game online flash Miniclip. tadi ketika aku ingin nonton televisi, melihatku masuk ke ruang tivi ia langsung menyelonjorkan badannya di sofa, tidak memberiku tempat untuk duduk di sampingnya. remote control televisi dibawa-bawanya pergi, tidak diijinkannya aku mengganti kanal.

merenung, aku rasa aku bisa lagi belajar dari hal ini. keketusan dan arogansi anak kecil yang mau tidak mau harus kutoleransikan ini bisa kurefleksikan pada kehidupan manusiaku. seringkali aku menjadi manusia yang egois. seperti José kecil, yang memang belum mengerti apa-apa dan hanya hidup untuk dirinya, diriku seringkali hidup untuk kenyamanan dan kenikmatan pribadi saja. untuk membuka mata dan melihat lingkunganku yang membutuhkan, masih sering sulit. di sisi lain, di tangan lain, aku punya kasih Kristus yang bisa kubagikan, tapi aku masih memilih menutupnya, dan membukanya hanya di tempat yang menurutku "layak" mendapatnya. padahal, siapakah yang layak di hadapan Tuhan? kita dilayakkan olehnya karena kasih karunia.

refleksiku mungkin untuk kalian juga. jangan jadi seperti José kecil. buka tangan dan bagikan kasih, separah apapun dunia memperlakukanmu. mereka perlu kasih Tuhan.

Friday, August 3, 2007

2&3 Agustus 2007 - Belajar Lagi

Hari sekolah berakhir seperti semua hari biasa. Pulang, lalu makan siang, kali ini tidak ditemani siapa-siapa. Sepertinya aku berada di rumah yang seisi keluarganya punya urusan sendiri-sendiri. Semua dimulai, seperti dari semua keluarga, dari si Bapak. Nivaldo suka sekali dengan komputer. Kalau tidak di komputer, di rumahnya, ia akan keluar rumah. Bahkan keluarga Itamar yang sering rusuhpun masih ada saat-saat "kebersamaan" keluarga di depan TV. Tapi di sini tidak, ah, belum kurasakan itu.

Pulang sekolah, José kecil ajak aku ke kantor Papanya dan ke toko neneknya. Seluruh keluarga ini bekerja keras! Sampai di kantor walikota, tempat Nivaldo bekerja, aku diperkenalkan pada orang-orang di sana. Semua antusias. Aku sampai diajak foto sang walikota (yang memang sudah kukenal lewat Rotary), duduk di meja kerjanya. Sekarang aku bisa juga bilang, "bapakku pegawai negeri."

"Duduk di kantor bapak."
Aduh... Kayak kalimat-kalimat di buku-buku PPKn jaman dulu aja...

Foto bareng walikota Califórnia.

Duduk di kursi walikota. Biarpun kota kecil juga...
Tapi waah, mimpi apa gw semalem?

Masih di kantor walikota, bersama beberapa warga yang berkunjung untuk ngobrol.
(Tuh, walikota bisa diajak ngobrol! Bang Yos, ayo kapan mau kayak begitu?)


Di rumah kakek & nenek (pasangan kakek nenekku yang ketiga tentunya), aku lihat toko & bagian dalam rumahnya, yang ternyata jauh lebih besar dari apa yang nampak dari luar. Semua tinggal di lantai dua (karena lantai satunya adalah sebuah toko serba ada), dan masih ada tanah kecil di belakang, tempat berkebun. Ketemu seorang tante baru di sana, yang ternyata seorang Kristen.

Lalu pulang. Di rumah, berita yang disampaikan Mãe Marilisa menyambarku seperti petir di siang bolong: Folder fotoku, file-file gambar pentingku dari awal tahun, yang sengaja kutinggalkan di komputer keluarga keduaku untuk kuambil nanti, dihapus oleh adikku dari keluarga kedua. Bukan main marahnya diriku saat itu. Mengapa harus dihapusnya? Mengapa dia tidak menungguku datang, atau paling tidak menanyakan dulu apakah file itu masih kuperlukan? Segitu penuhnya-kah hard disknya sehingga dia harus menghapus file-file pentingku yang hanya akan menyesakkan komputernya selama, paling tidak, dua atau tiga hari?

Yah, singkat cerita, siang itu dalam campuran perasaan marah, takut, dan sedih, aku berlari ke Orion Computer, satu-satunya toko komputer di Califórnia, dan memohon bantuan Juliano, sang pemilik toko, untuk menyelamatkan file-file yang hilang itu. Katanya, ada programnya, tapi besok. Jadi hari itu, aku menanti. Memang mustahil mendapatkan semuanya kembali, tapi setidaknya aku berharap aku tidak akan kehilangan semua gambarku.

Lalu yah, datang waktu marah, datang waktu perenungan. Kata Tuhan, "Nak, yang hilang kan fotomu, bukan kameramu? Untuk apa memusingkan beberapa potong masa lalu jika itu malah merusak hubunganmu dengan masa kini?"

Tapi tetap terasa kurang adil. Dalam dua hari kenyamananku di keluarga kedua direnggut, aku harus memulai hubungan keluarga dari awal lagi, dan sekarang foto-fotoku hilang. Ah, tapi aku yakin ada yang Tuhan ingin aku pelajari dari hal ini. Sebagai anak-anak Allah, masa lalu, masa kini, dan masa depan kita adalah milik-Nya. Serahkan hak. Tidak ada lagi yang boleh kita klaim, sebab semakin kita menyerahkan diri kita menjadi milik Kristus, semakin hilanglah diri kita, dan semakin bertambahlah diri-Nya. Segala yang tidak kekal tidak perlu kita perdebatkan dan perebutkan. Termasuk foto-foto masa laluku. Rebutkan foto dan kehilangan kesempatan memberitakan kasih Kristus pada keluarga ini? Iblis, aku tidak bisa kau tipu lagi. Bersama Tuhan aku benar-benar kuat menghadapi SEGALA SESUATU. Amin. Aku LEBIH DARI PEMENANG.

***
Tambahan:

Sore hari setelah aku mendapatkan kabar mengejutkan tentang hilangnya foto-fotoku, adik baruku José kecil berumur 9 tahun, ngotot mengajakku berjalan ke Bosque, sebuah taman kota di ujung California. Taman yang sebenarnya sudah tidak terawat lagi, tapi karena "cintanya akan alam", José ngotot ingin pergi ke sana.

Kata orang, anak kecil benar-benar egois. Tidak bisa mengerti kepentingan orang lain, dan hanya memikirkan keinginannya sendiri. Hari itu aku mengerti apa yang dimaksudkan kalimat itu. José kecil sama sekali tidak memikirkan bahwa aku sangat sedih, kehilangan begitu banyak foto dan video, dia tetap saja pasang tampang ceria dan menyebalkan (bagiku), dan meskipun aku jelas-jelas menunjukkan wajah merengut sepanjang kami berjalan di taman jelek itu, dia tetap ceria dan melompat-lompat ke sana kemari.

Puji Tuhan, akhirnya aku bisa membuka hati dan mencoba bersenang-senang. Kupikir tidak ada untungnya juga bila sore itu aku bersedih. Akhirnya kami mendapatkan beberapa foto bagus sore itu, dan acara jalan-jalan sore kami berakhir cukup menyenangkan.


Yeah, the great outdoors...

***

Dan yah, itu kemarin. Sekarang tanggal 4 Agustus, dan aku akan menambahkan apa yang terjadi tanggal 3 Agustus, sehari setelah file-file fotoku dihapus.

Pulang sekolah, makan siang, aku langsung pergi ke Orion Computer. Di sana Juliano sudah ada, tapi entah mengapa ia berlama-lama, meninggalkanku ngobrol dengan salah satu teknisinya. Seolah ia tidak tahu betapa banyaknya foto yang terhilang, seolah bukan sesuatu yang penting baginya. Aku menunggu setengah jam di tokonya untuk mendapatkan sebuah software kecil, dan pada akhirnya masih lagi membayar sekitar sepuluh ribu rupiah untuk software gratisan yang bisa aku download dari internet.

Tuhan mengajarku tentang kesabaran.

Setiba di rumah keluarga keduaku, terlihat sang tersangka, penghapus fileku terduduk tenang di depan komputer, menikmati sebuah game dan bahkan tidak menengok menyapaku ketika aku datang. Ia masih bisa menyuruhku menunggunya menyelesaikan permainannya. Setelah giliranku tiba, dan aku memasang software penyelamat itu, masih ia duduk di dekatku, nempel-nempel sok tahu, bahkan berani-beraninya mengajariku cara menggunakan software yang tidak pernah dilihatnya. Meskipun hari itu kudengar kata maaf keluar dari mulutnya, tetap sikapnya tidak menunjukkan penyesalan yang berarti. Ia bolak-balik dari dapur ke komputer, mengambil makanan dan lalu duduk, seolah-olah tidak sabar menantiku selesai. Sampai dalam hati aku bingung, keluarga macam apa yang bisa menghasilkan anak tidak tahu diri seperti ini?

Tuhan mengajarku tentang kesabaran.

File yang kucari tidak kunjung kutemukan. Program-program sudah dijalankan, bahkan ku-download program tambahan dari internet, tetap tidak ada tanda-tanda dari 1 GB lebih foto dan videoku, seolah-olah mereka tidak pernah ada di komputer itu. Frustrasi, dengan seorang anak tidak tahu diri terus-terusan duduk di dekatku dan tetap berusaha mengajariku apa yang mesti kulakukan, benar-benar hanya Tuhan saja yang memberiku kekuatan menghadapi situasi itu dan tidak marah.

Akhirnya hari semakin sore, dan sampai Juliano sendiri turun tangan membantu. Tidak juga kami temukan file-file yang hilang itu. Adikku, sang penghapus file, entah mengapa menarik diri dengan keberadaan Juliano. Mungkin malu karena Juliano jelas-jelas menyinggung namanya terus-terusan, mungkin juga ia ada urusan lain. Tapi sore itu ekspresi malu mulai terlihat di wajahnya. Ia segan denganku.

Dan tetap, file tidak bisa kutemukan. Foto-foto dan video-videoku, memori-memoriku akan hal-hal yang terjadi dalam hidupku dari awal tahun 2007 di Brazil ini, semua hilang.

Tuhan mengajarku tentang kesabaran.

Lalu Mãe datang. Benar-benar kekuatan dari Tuhan hari itu, aku bisa tetap tenang dan memilih bersukacita. Dengan wajah tenang dan tersenyum, aku bisa menghadapi kegugupan Mãe, dan membicarakan dengan kepala dingin bagaimana cara mendapatkan kembali foto-foto yang hilang tersebut dengan memintanya ke teman-temanku yang lain. Kami berbicara tentang file-file yang terhilang, foto-foto apa yang bisa diminta ke tempat lain, difoto ulang, dan yang benar-benar terhilang. Puji Tuhan, aku tetap tenang hari itu. Kami selesaikan pembicaraan itu dengan enak, Mama bahkan bikinkan aku mingãu (sup kental coklat manis dicampur tepung jagung), kami duduk ngobrol bersama, dan sukacitaku tetap ada di hatiku.

Sebelum aku pulang, aku bisa menutup dengan pesan pengampunan, "Pai, Mãe, tolong bilang ke adikku kalau aku sudah baik-baik saja, tidak perlu ia merasa tidak enak lagi." Mereka tersipu dan hanya bisa tersenyum.

Tuhan mengajarku tentang kesabaran dan kekuatan mengampuni.

Di awalnya, aku merasa tidak ada kerugian yang lebih parah daripada kehilangan foto-foto itu. Aku merasa aku akan sangat marah, tidak akan sanggup memaafkan, dan akan kecewa berat atas hilangnya foto-foto itu. Tapi, aku serahkan semua pergumulan hatiku, kecewaku, juga marahku kepada Tuhan. Meminta Ia memanggul-Nya. Dan yang kudapatkan adalah kekuatan. Bayangkan betapa sakitnya menanggung hilangnya 1,5 GB foto dan video, di tahun pertukaran siswamu, tanpa penghiburan dari Tuhan? Puji Tuhan, aku hanya kehilangan foto-foto itu, dan tidak perlu kehilangan simpati dan kasih dari keluarga keduaku.

Sekarang aku mengerti apa itu mengampuni. Apa itu kehilangan sesuatu yang berharga dan masih bisa tetap tersenyum dan berkata, "ya, tidak mengapa."

Terima kasih Tuhan. Aku benar-benar lebih dari pemenang bersama Engkau.

2 Agustus 2007 - Anti Conformity

Kemarin akhirnya aku pindah rumah ke keluarga ketiga. Malasnya bukan main, sesudah pulang sekolah, makan siang, aku harus membereskan barang-barangku, memasukkannya ke dalam kotak-kotak lagi, merapikan di sana-sini, tapi untungnya Mãe membantuku. Ah, kusadari barang-barangku banyak sekali! Kaos-kaos terutama, banyak yang tidak pernah kukenakan. Celana-celana kain tidak terpakai, celana dalam yang sepertinya terlalu banyak, rompi yang tidak tersentuh, dll.

Dan yang paling parah, buku-buku! Mungkin ada 5 kg sendiri satu dus buku-bukuku! Yah, pastinya aku akan jadi seorang pemberi yang baik di hari kepulanganku nanti.

Juga kubereskan file-file di komputer, ku-burn CD-CD berisi musik & foto-foto, yah, 'menghapuskan' jejakku dari rumah itu. Di tengah-tengah kesibukanku sore itu, Mãe Marilise (oh God, she's a really sweet woman!) masih menyempatkan mengajakku foto.

Beres-beres, berantakan, capek, dan dibongkar lagi nantinya. Ugh...

sama Isadora, tetanggaku.

Giovanna and Julia, the two sweetest sisters you can get!!

Casturina, my heroine. She washed my clothes, pants, shoes, and everything. I'd be 'kewalahan' without her.

"Mommy, I love you!!"

Dan akhirnya pukul 5.30 sore lebih 2 menit, keluarga ketigaku datang menjemput. Nivaldo dan Marilisa, orang tua terakhirku di negara berbendara hijau kuning biru ini.

Rumah mereka sangat kecil, tapi rapi. Aku akan tidur dengan José, adik kecilku. Tas-tas yang sudah kupak rapi-rapi, kubongkar kembali. Kaos-kaos kukeluarkan lagi, kardus-kardus dibuka lagi, dan jejak-jejak yang sudah kuhapuskan dari rumah kedua, kini kukuaskan lagi di rumah baru.

Terulang kembali pula proses pengenalan. Seperti apa Indonesia, cara kami makan di sana, dan yang belum tapi pasti akan ditanyakan, tentang keluargaku. Kalau dipikir-pikir bisa kesal dan lelah juga, tapi mengingat tugasku sebagai seorang duta muda negara, memang inilah yang harus kulakukan. Aku tidak di sini untuk kenyamananku. Satu kali aku mulai merasa nyaman di satu keluarga, aku harus pindah. Mungkin itu juga yang Rotary inginkan, supaya aku tidak pernah merasa aman dan lalu jadi kurang ajar, malas, bersantai, dan melupakan misiku.

Apa refleksinya tentang ini dengan kehidupan rohaniku ya? Yah, rasanya aku mengerti. Dalam menjadi seorang duta besar kerajaan Surga, kita seharusnya tidak pernah boleh merasa nyaman di dunia ini. Dunia yang bukanlah tanah air kita, karena kita berkebangsaan tanah surgawi. Sebelum semua orang tahu tentang kasih Kristus, tentang cinta-Nya yang besar untuk semua orang, kita tidak boleh beristirahat. Sebelum kita kembali kepada-Nya, jangan pernah merasa tenang, apalagi merasa sudah berbuat cukup. Terus berlari, dan kejar mahkota kemuliaan itu.

Wednesday, August 1, 2007

1 Agustus 2007

Kemarin malam, keluargaku mengajakku makan di sebuah churrascaria. Makan malam perpisahan, katanya. Churrascaria berasal dari kata churrasco = barbekyu, yang bila diterjemahkan bebas oleh Samuel dapat diartikan sebagai tempat makan barbekyu.

Sekitar jam 7 malam, sebelum berangkat, semua ngumpul di ruang keluarga, dan aku diberi kejutan. Ah, mereka membelikanku CD original Cesar Menotti & Fabiano! Senangnya.

Kami lalu berangkat, dan CD baruku disetel di stereo mobil. Entah mengapa mendengar kedua duet ini bernyanyi selalu membangkitkan semangatku. Rasanya yang lainnya di mobil malam itu juga berpikiran sama. Kami bernyanyi sepanjang jalan, dari Califórnia ke Arapongas.

Mãe Marilise, di tengah jalan berkata, harapannya bahwa aku akan mengenang keluargaku ini ketika kudengarkan ulang CD ini kelak. Oh ya, jelas aku akan ingat. Malahan di beberapa lagu tadi malam aku merasakan mataku panas membayangkan aku akan meninggalkan keluargaku yang kucintai di sini.

Terputar lagu Esperando na Janela (Menanti di Ambang Jendela). Liriknya cantik sekali! Langsung kukatakan, lagu ini akan kunyanyikan untuk istriku di pernikahanku kelak. Dengarkan lagunya di bar sebelah kanan blog ini.

Musik memang membawa perasaan. Apalagi kalau musik yang diputar adalah musik yang ceria dan punya roh yang benar. Kami benar-benar gembira malam itu.

Di churrascaria, makanannya tidak terlalu spesial. Tipikal semua makanan Brazil lainnya: Enak tapi bikin ngap. Hanya mengagumkan saja melihat betapa banyak daging dari berbagai jenis dan teknik mengasapi diedarkan. Yang mengesankan kemarin malam adalah betapa keluarga keduaku ini begitu ingin meninggalkan kesan yang baik di malam terakhir aku tinggal bersama mereka. Berapa kali kedua orang tua memisahkan kedua anaknya yang berantem kecil, mereka mengambil foto meskipun anak-anaknya tidak suka... Dan ah, pokoknya mereka bersikap manis sekali kepadaku malam itu. Semakin membuatku berat rasanya meninggalkan mereka. Tidak sekalipun mereka berantem, berdebat, ataupun marah-marah parah malam itu. Yah, keluarga ini benar-benar bisa jadi manis kalau mereka berusaha.

Di bawah ini beberapa foto-foto istimewa malam itu.

Tiba di Churrascaria Herança. Felipe di balik kamera.

Potong daging, potong daging. Ketika kukatakan, "daging beredar", aku benar-benar maksudkan daging-daging itu BEREDAR!!

Giovanna, adik kecilku.

United we stand, united we feast!!

Dan semuanya kenyang...

Dan ini beberapa yang tidak terlalu istimewa.

Tiada hari tanpa random pictures!!

Dan waw, tinggal satu bulan lagi waktuku di Brazil. Perpisahan kecil dengan keluarga keduaku yang manis ini saja sudah terasa pedih, bagaimana nanti aku berpisah dengan segala yang sudah kukenal di negara ini? Negara yang tadinya begitu ingin kutinggalkan, kini mulai terasa ikatan-ikatan cinta di banyak tempat yang telah kujalin menarikku kembali. Yah, kesedihan nanti biarlah untuk nanti saja. Aku sudah minta pada-Nya agar sisa ini bermakna. Mau mulai menghitung hari.

Hari ini... Bosan di kelas seperti biasa. Siap-siap pindah rumah juga nanti sore. Mesti sibuk. Sudah dulu deh.