Hari sekolah berakhir seperti semua hari biasa. Pulang, lalu makan siang, kali ini tidak ditemani siapa-siapa. Sepertinya aku berada di rumah yang seisi keluarganya punya urusan sendiri-sendiri. Semua dimulai, seperti dari semua keluarga, dari si Bapak. Nivaldo suka sekali dengan komputer. Kalau tidak di komputer, di rumahnya, ia akan keluar rumah. Bahkan keluarga Itamar yang sering rusuhpun masih ada saat-saat "kebersamaan" keluarga di depan TV. Tapi di sini tidak, ah, belum kurasakan itu.
Pulang sekolah, José kecil ajak aku ke kantor Papanya dan ke toko neneknya. Seluruh keluarga ini bekerja keras! Sampai di kantor walikota, tempat Nivaldo bekerja, aku diperkenalkan pada orang-orang di sana. Semua antusias. Aku sampai diajak foto sang walikota (yang memang sudah kukenal lewat Rotary), duduk di meja kerjanya. Sekarang aku bisa juga bilang, "bapakku pegawai negeri."
Duduk di kursi walikota. Biarpun kota kecil juga...
Tapi waah, mimpi apa gw semalem?
Masih di kantor walikota, bersama beberapa warga yang berkunjung untuk ngobrol.
(Tuh, walikota bisa diajak ngobrol! Bang Yos, ayo kapan mau kayak begitu?)
Di rumah kakek & nenek (pasangan kakek nenekku yang ketiga tentunya), aku lihat toko & bagian dalam rumahnya, yang ternyata jauh lebih besar dari apa yang nampak dari luar. Semua tinggal di lantai dua (karena lantai satunya adalah sebuah toko serba ada), dan masih ada tanah kecil di belakang, tempat berkebun. Ketemu seorang tante baru di sana, yang ternyata seorang Kristen.
Lalu pulang. Di rumah, berita yang disampaikan Mãe Marilisa menyambarku seperti petir di siang bolong: Folder fotoku, file-file gambar pentingku dari awal tahun, yang sengaja kutinggalkan di komputer keluarga keduaku untuk kuambil nanti, dihapus oleh adikku dari keluarga kedua. Bukan main marahnya diriku saat itu. Mengapa harus dihapusnya? Mengapa dia tidak menungguku datang, atau paling tidak menanyakan dulu apakah file itu masih kuperlukan? Segitu penuhnya-kah hard disknya sehingga dia harus menghapus file-file pentingku yang hanya akan menyesakkan komputernya selama, paling tidak, dua atau tiga hari?
Yah, singkat cerita, siang itu dalam campuran perasaan marah, takut, dan sedih, aku berlari ke Orion Computer, satu-satunya toko komputer di Califórnia, dan memohon bantuan Juliano, sang pemilik toko, untuk menyelamatkan file-file yang hilang itu. Katanya, ada programnya, tapi besok. Jadi hari itu, aku menanti. Memang mustahil mendapatkan semuanya kembali, tapi setidaknya aku berharap aku tidak akan kehilangan semua gambarku.
Lalu yah, datang waktu marah, datang waktu perenungan. Kata Tuhan, "Nak, yang hilang kan fotomu, bukan kameramu? Untuk apa memusingkan beberapa potong masa lalu jika itu malah merusak hubunganmu dengan masa kini?"
Tapi tetap terasa kurang adil. Dalam dua hari kenyamananku di keluarga kedua direnggut, aku harus memulai hubungan keluarga dari awal lagi, dan sekarang foto-fotoku hilang. Ah, tapi aku yakin ada yang Tuhan ingin aku pelajari dari hal ini. Sebagai anak-anak Allah, masa lalu, masa kini, dan masa depan kita adalah milik-Nya. Serahkan hak. Tidak ada lagi yang boleh kita klaim, sebab semakin kita menyerahkan diri kita menjadi milik Kristus, semakin hilanglah diri kita, dan semakin bertambahlah diri-Nya. Segala yang tidak kekal tidak perlu kita perdebatkan dan perebutkan. Termasuk foto-foto masa laluku. Rebutkan foto dan kehilangan kesempatan memberitakan kasih Kristus pada keluarga ini? Iblis, aku tidak bisa kau tipu lagi. Bersama Tuhan aku benar-benar kuat menghadapi SEGALA SESUATU. Amin. Aku LEBIH DARI PEMENANG.
***
Tambahan:
Sore hari setelah aku mendapatkan kabar mengejutkan tentang hilangnya foto-fotoku, adik baruku José kecil berumur 9 tahun, ngotot mengajakku berjalan ke Bosque, sebuah taman kota di ujung California. Taman yang sebenarnya sudah tidak terawat lagi, tapi karena "cintanya akan alam", José ngotot ingin pergi ke sana.
Kata orang, anak kecil benar-benar egois. Tidak bisa mengerti kepentingan orang lain, dan hanya memikirkan keinginannya sendiri. Hari itu aku mengerti apa yang dimaksudkan kalimat itu. José kecil sama sekali tidak memikirkan bahwa aku sangat sedih, kehilangan begitu banyak foto dan video, dia tetap saja pasang tampang ceria dan menyebalkan (bagiku), dan meskipun aku jelas-jelas menunjukkan wajah merengut sepanjang kami berjalan di taman jelek itu, dia tetap ceria dan melompat-lompat ke sana kemari.
Puji Tuhan, akhirnya aku bisa membuka hati dan mencoba bersenang-senang. Kupikir tidak ada untungnya juga bila sore itu aku bersedih. Akhirnya kami mendapatkan beberapa foto bagus sore itu, dan acara jalan-jalan sore kami berakhir cukup menyenangkan.
***
Dan yah, itu kemarin. Sekarang tanggal 4 Agustus, dan aku akan menambahkan apa yang terjadi tanggal 3 Agustus, sehari setelah file-file fotoku dihapus.
Pulang sekolah, makan siang, aku langsung pergi ke Orion Computer. Di sana Juliano sudah ada, tapi entah mengapa ia berlama-lama, meninggalkanku ngobrol dengan salah satu teknisinya. Seolah ia tidak tahu betapa banyaknya foto yang terhilang, seolah bukan sesuatu yang penting baginya. Aku menunggu setengah jam di tokonya untuk mendapatkan sebuah software kecil, dan pada akhirnya masih lagi membayar sekitar sepuluh ribu rupiah untuk software gratisan yang bisa aku download dari internet.
Tuhan mengajarku tentang kesabaran.
Setiba di rumah keluarga keduaku, terlihat sang tersangka, penghapus fileku terduduk tenang di depan komputer, menikmati sebuah game dan bahkan tidak menengok menyapaku ketika aku datang. Ia masih bisa menyuruhku menunggunya menyelesaikan permainannya. Setelah giliranku tiba, dan aku memasang software penyelamat itu, masih ia duduk di dekatku, nempel-nempel sok tahu, bahkan berani-beraninya mengajariku cara menggunakan software yang tidak pernah dilihatnya. Meskipun hari itu kudengar kata maaf keluar dari mulutnya, tetap sikapnya tidak menunjukkan penyesalan yang berarti. Ia bolak-balik dari dapur ke komputer, mengambil makanan dan lalu duduk, seolah-olah tidak sabar menantiku selesai. Sampai dalam hati aku bingung, keluarga macam apa yang bisa menghasilkan anak tidak tahu diri seperti ini?
Tuhan mengajarku tentang kesabaran.
File yang kucari tidak kunjung kutemukan. Program-program sudah dijalankan, bahkan ku-download program tambahan dari internet, tetap tidak ada tanda-tanda dari 1 GB lebih foto dan videoku, seolah-olah mereka tidak pernah ada di komputer itu. Frustrasi, dengan seorang anak tidak tahu diri terus-terusan duduk di dekatku dan tetap berusaha mengajariku apa yang mesti kulakukan, benar-benar hanya Tuhan saja yang memberiku kekuatan menghadapi situasi itu dan tidak marah.
Akhirnya hari semakin sore, dan sampai Juliano sendiri turun tangan membantu. Tidak juga kami temukan file-file yang hilang itu. Adikku, sang penghapus file, entah mengapa menarik diri dengan keberadaan Juliano. Mungkin malu karena Juliano jelas-jelas menyinggung namanya terus-terusan, mungkin juga ia ada urusan lain. Tapi sore itu ekspresi malu mulai terlihat di wajahnya. Ia segan denganku.
Dan tetap, file tidak bisa kutemukan. Foto-foto dan video-videoku, memori-memoriku akan hal-hal yang terjadi dalam hidupku dari awal tahun 2007 di Brazil ini, semua hilang.
Tuhan mengajarku tentang kesabaran.
Lalu Mãe datang. Benar-benar kekuatan dari Tuhan hari itu, aku bisa tetap tenang dan memilih bersukacita. Dengan wajah tenang dan tersenyum, aku bisa menghadapi kegugupan Mãe, dan membicarakan dengan kepala dingin bagaimana cara mendapatkan kembali foto-foto yang hilang tersebut dengan memintanya ke teman-temanku yang lain. Kami berbicara tentang file-file yang terhilang, foto-foto apa yang bisa diminta ke tempat lain, difoto ulang, dan yang benar-benar terhilang. Puji Tuhan, aku tetap tenang hari itu. Kami selesaikan pembicaraan itu dengan enak, Mama bahkan bikinkan aku mingãu (sup kental coklat manis dicampur tepung jagung), kami duduk ngobrol bersama, dan sukacitaku tetap ada di hatiku.
Sebelum aku pulang, aku bisa menutup dengan pesan pengampunan, "Pai, Mãe, tolong bilang ke adikku kalau aku sudah baik-baik saja, tidak perlu ia merasa tidak enak lagi." Mereka tersipu dan hanya bisa tersenyum.
Tuhan mengajarku tentang kesabaran dan kekuatan mengampuni.
Di awalnya, aku merasa tidak ada kerugian yang lebih parah daripada kehilangan foto-foto itu. Aku merasa aku akan sangat marah, tidak akan sanggup memaafkan, dan akan kecewa berat atas hilangnya foto-foto itu. Tapi, aku serahkan semua pergumulan hatiku, kecewaku, juga marahku kepada Tuhan. Meminta Ia memanggul-Nya. Dan yang kudapatkan adalah kekuatan. Bayangkan betapa sakitnya menanggung hilangnya 1,5 GB foto dan video, di tahun pertukaran siswamu, tanpa penghiburan dari Tuhan? Puji Tuhan, aku hanya kehilangan foto-foto itu, dan tidak perlu kehilangan simpati dan kasih dari keluarga keduaku.
Sekarang aku mengerti apa itu mengampuni. Apa itu kehilangan sesuatu yang berharga dan masih bisa tetap tersenyum dan berkata, "ya, tidak mengapa."
Terima kasih Tuhan. Aku benar-benar lebih dari pemenang bersama Engkau.
|