Thursday, October 4, 2007

Pria, Wanita, Laki-laki, Perempuan.

Friendster memang bisa jadi sumber inspirasi. Sudah lama saya tidak ngeblog di sini, dan hari ini ketika membuka Friendster dan melihat-lihat Bulletin Board yang biasanya disampahi dengan artikel-artikel quiz yang diisi untuk membunuh kebosanan... Saya menemukan sesuatu yang menarik.

Seorang teman membagikan artikel unik tentang pria dan cowok. Merasa sebagai pemilik jenis kelamin yang disinggung-singgung, aku tertarik dan membacanya lebih lanjut. Ini isinya.

Inilah Perbedaan mendasar antara seorang PRIA dan COWOK

P: Tahu jelas lima tahun lagi ia mau jadi apa.
C: Tidak jelas lima menit lagi ia mau berbuat apa.

P: Jago membuat wanita merasa tenang.
C: Jago membuat cewek merasa senang.

P: Bacaannya John Grisham, mainannya golf, tontonannya CNN.
C: Bacaannya FHM, mainannya bilyar, 1 tontonannya MTV.

P: Sebelum umur 30 sudah banyak uang.
C: Sebelum umur 30 sudah banyak dosa.

P: Seimbang antara penghasilan dan pemasukan.
C: Seimbang antara hutang dan pembayaran minimum.

P: Mendukung emansipasi wanita, tapi tetap membayari bon makan wanita.
C: Mendukung emansipasi wanita dengan membiarkan wanita bayar sendiri.

P: Punya akuntan, penjahit dan dokter langganan.
C: Punya salon, kafe dan bengkel langganan.

P: Meminta Anda nimbrung ngobrol kalau mamanya menelepon.
C: Pura-pura Anda tidak bersamanya jika mamanya menelepon.

P: Putus dengan pasangannya sambil berjabatan tangan dan mengakui sulitnya menjembatani perbedaan antar mereka berdua, diiringi ucapan, "Kita tetap bisa berteman selamanya."
C: Putus dengan pasangannya sambil kabur dari rumah, merokok berbatang-batang, plus ucapan, "Jangan undang aku ke pernikahanmu nanti!"

P: Mencintai wanita 10 % pada pertemuan awal dan meningkat terus.
C: Mencintai wanita 100 % pada pertemuan awal dan menurun terus.

P: Berpikir dewasa seperti orang usia 40 tahun saat berusia 17 tahun.
C: Berpikir kekanakan seperti orang usia 17 tahun saat berusia 40 tahun.

P: Bisa menang hanya dengan otak dalam konflik.
C: Cuma bisa ngamuk, adu mulut, & adu otot kalo konflik.

P: Mikirnya "Aku masih kurang pengetahuan, harus belajar lebih banyak."
C: Mikirnya "Aku yang terhebat di muka bumi, siapapun aku hadapin !!!."

P: Otak no 1, digabungin otot kalo terpaksa.
C: Otot no 1, ditambah otak kalo punya.

P: Main sepeda agar tambah perkasa.
C: Main sepeda agar dipuji wanita.

P: Klo liat ce cakep, mata melihat ke wanita itu,kemudian menatap ke depan.
C: Klo liat ce cakep, mata melihat ke wanita itu,kemudian menatap ke samping dan ke belakang.

P:Kl o ada wanita ngajak kenalan nanya namanya sapa?
C:Klo ada wanita ngajak kenalan nanya nomor HP-nya berapa? Tinggal di mana?


***

Ayo, apa respon anda setelah membaca artikel tadi? Mungkin ada yang marah, tersinggung, tertawa, dan macam-macam. Kalau saya sendiri merasa tersentak namun geli juga. Artikel yang memang ada benarnya, nyata, tapi apa yang terjadi dengan karakter pria-pria hari-hari ini sampai-sampai ada artikel sindiran seperti ini di Internet?

Wanita dalam banyak hal, kalau kita para pria mau jujur, (saya akan gunakan kata 'pria' untuk jenis kelamin jantan, dan 'wanita' untuk jenis kelamin betina) sudah banyak disakiti dan ditindas oleh kepemimpinan pria. Tumbuh dalam sebuah keluarga yang belum sempurna, saya sendiri melihat terkadang sang Ayah bertindak sewenang-wenang dalam memimpin, melupakan peran istrinya yang seharusnya ia lindungi dan juga ia dengarkan dalam mengambil keputusan. Selain itu masih banyak hal-hal lain yang terjadi dalam masyarakat yang menunjukkan bahwa wanita sering dinomorduakan dan tidak jarang diinjak haknya.

Saya bukan seorang feminis, yang percaya bahwa pria harus takluk di bawah kaki wanita, tapi saya juga bukan penentang emansipasi wanita. Saya masih percaya akan kepemimpinan pria, bahwa Sang Pencipta menentukannya demikian dari awalnya. Dan hal inipun tidak menjadikan seorang wanita kalah penting. Pria dan wanita diciptakan sama unik dan sama pentingnya, tapi Tuhan perlengkapi kita masing-masing dengan fungsi yang berbeda-beda. Bayangkan sebuah dunia tanpa pria, atau sebaliknya, mau jadi apa?

Menjadi laki-laki adalah masalah kelahiran, tetapi menjadi pria sejati adalah masalah pilihan. Secara khusus saya mau berbicara pada para pria melalui artikel ini.

Untuk menjadi seorang pria yang kuat dan benar, tentu kita perlu mendasari hidup kita dengan sesuatu. Sebenarnya, apakah yang menjadi pondasi hidup kita hari-hari ini? Pasir, ataukah tanah keras?

Banyak pria mendasarkan hidup mereka pada kekayaan, karir, otot, otak, dan hal-hal duniawi yang akan hilang. Dasar yang benar bukanlah itu semua. Kekuatan pria yang sejati terletak pada mendengar dan melakukan Firman Tuhan. Dunia ini dan segala isinya akan berlalu. Kita boleh punya otot dan perut yang keren di usia muda. Tapi di usia 60-an, siapa yang bisa membanggakan tubuh masa mudanya? Harta akan berlalu, keluarga akan hilang, bahkan hikmat akan lenyap, tapi Firman Tuhan tinggal tetap. Ingatlah selalu bahwa Firman Tuhan adalah sesuatu yang kokoh dan tidak bisa terbantahkan. Praktekkan Firman Tuhan sebagai suatu perintah. Landasi hidupmu dengan Firman Tuhan. Mulai membaca dan merenungkannya, dan jadikan Firman itu sebuah gaya hidup. Sesuatu yang kita praktekkan dengan sungguh-sungguh, didasari kasih atas Tuhan kita, di mana dari situlah akan datang kekuatan kita yang sejati.

Dan ingat teman-teman, menjadi seorang Pria Sejati adalah sebuah perjalanan seumur hidup. Bukan sesuatu yang bisa kita dapatkan dengan membaca sebuah buku atau mengikuti satu camp secara instan. Menjadi seorang Pria Sejati adalah sebuah dedikasi seumur hidup. Minta Tuhan membentuk dirimu terus menerus, minta karakter Kristus terus dipenuhi dan diperjelas dalam hidupmu. Baca terus Firman Tuhan yang hidup itu, jadikan pedoman hidupmu. Hargai wanita dengan hati yang murni, berhenti menggombali dan merayu mereka, mereka sudah lelah dan jijik dengan itu. Tuhan dan wanita menginginkan agar pria memiliki konsistensi, ketegasan, dan kekuatan.

Saya yakin banyak juga wanita yang membaca artikel ini dan memimpikan pria-pria yang dekat dengannya, entah itu teman, pasangan hidup, ayah, atau adiknya, mau berubah dan menjadi seorang Pria Sejati. Terus terang, berat bagi kami bila kami harus maju dan melangkah sendiri. Perubahan seorang pria membutuhkan kerja sama dari teman-teman pria dan wanita di sekitarnya. Wahai wanita, anda bisa membantu pria-pria di sekitar anda menjadi lebih baik, dengan menunjukkan apresiasi atas hal-hal gentle yang mereka lakukan, dengan sebuah senyuman kecil atau sekedar ucapan 'terima kasih'.

Sebuah pengalaman pribadi saya, terus terang saya agak kecewa dengan sikap wanita Indonesia dalam memberi apresiasi kepada pria. Saya pernah tinggal di Brazil selama 10 bulan. Dari negara inilah justru saya belajar lebih bagaimana menghargai teman-teman wanita saya. Menahan pintu lift, memberikan tempat duduk, dan perhatian-perhatian kecil yang seharusnya para pria berikan pada wanita, banyak saya pelajari dari tempat itu. Sepulangnya ke Indonesia, dengan tekad menjadi pria yang lebih baik, saya bawa pengalaman itu dan saya mencoba lebih lembut pada wanita-wanita Indonesia. Saya membukakan lift, menahan pintunya untuk mereka, memberikan kursi saya di bis untuk seorang ibu yang berdiri kelelahan, mengambilkan minum, yah, pokoknya saya berusaha deh!

Di Brazil, tindakan-tindakan ini akan mengupahi saya sebuah senyuman manis, ucapan terima kasih, atau bahkan sekedar anggukan santun menunjukkan apresiasi. Tapi di Indonesia, ugh, boro-boro! Wanita yang saya tahankan pintu liftnya langsung saja menyosor masuk tanpa melihat saya. Ibu-ibu yang saya berikan tempat duduk langsung saja duduk tanpa bahkan tersenyum pada saya. Orang yang saya ambilkan minum hanya akan menggumamkan terima kasih singkat bahkan tanpa melihat mata saya!!

Saya harap lewat artikel ini saya sudah berhasil mengajak teman-teman berpikir. Kadang-kadang kita (entah kita pria atau wanita) senang sekali menuntut seorang berubah. Tapi tanpa kita sadari, kunci dari perubahan itu adalah diri kita sendiri. Berapa banyak pria yang sebenarnya berusaha berbuat baik, tapi karena tidak menerima respon yang apresiatif dari para wanita kemudian jadi mundur dan malu lagi. Berapa banyak wanita yang sebenarnya ingin lebih menyayangi suaminya, tapi karena sifat suaminya yang tertutup akhirnya sang istri menjadi kikuk dan ketakutan sendiri?

Marilah kita, selain mengambil tanggung jawab atas diri kita sendiri, juga mau mengambil tanggung jawab atas saudara-saudara kita yang lain. Mulailah dari teman-teman sesama jenis. Jaga mereka. Untuk anda yang sudah merasa sudah mengerti, teruslah belajar sambil mengajar juga teman-teman yang lain. Jangan lupa, kalau kita tidak mau mengambil tanggung jawab kecil, dimulai dari diri kita sendiri, siapa lagi yang akan bertanggung jawab? Hidup adalah sebuah pilihan besar. Semua keputusan ada di tangan kita. Mari kita mengambil keputusan untuk menjadi seorang pria maupun wanita yang lebih tanggap, berfungsi, dan maksimal di dalam Tuhan.

Tuhan memberkati. Jadilah maksimal!

Tuesday, September 18, 2007

Is Happy Ending A Never?


I have been thinking these days, about all the bedtime stories that filled my childhood. About Cinderella and her glass shoes, about Rapunzel and her amazing golden hair, about Hans and Gretel and how they luckily survive the evil witch... Even about Shrek, that recent crazy new folktale.

In all those stories, everything ended happily. Although the evil might once prevail, and there seems like there was no way out, someone somewhere made mistake or came with a brilliant idea, and someone other would save the day. And then there would be a happily ever after ending.

I'm not intending of destroying the happy faces of Cinderella, Rapunzel, Pinocchio, and the Prince Charming in your head, but... Let's think of it this way. To be honest with ourselves, these kind of "happy endings" does not happen in reality. The story writers just stop at the right moment, where everything seemed happy and right, and close the story.

Cinderella got married. One day they would have children. It would be possible that rebel would happen in their kingdom, someone there would try to take over their throne, and darkness prevails again. And how about Snow White's beauty? Wouldn't it fade one day, and her Prince Charming would stop loving her?

I want to reflect this on our real life. Fairy tales are good, but we must remember, in reality there are no such things. Maybe you would say, no, I don't read any more fairy tales... I'm a grown up! Girls, especially, please, please don't use this excuse. Your fairy tales are those cheap pink girly novels about cute rebel boys that submit themselves to a girl's charm... And boy's fairy tales are modern movies, modern 'role models' such as pop-musician, actors, and 'cool people' shown on TV.

As we realize what our fairy tales are, we must reflect into reality even more, and understand the importance of seeing life the way it must be seen. We have our happy and glorious moments, but don't see it as our happily ever after. Things will change, our earth and society are dynamic, and we have to be prepared for it. Happy moments, praise God, and in difficulties, seek Him even more.

A happily ever after is not a never. It is how we reflect to things that will show us its beauty, as a Chinese saying says. A beautiful painting will not be great in front of an art-hater. A delicious food won't bloom in a full belly's mouth. But with God, we always have a choice to see the beauty life shares. Because it is in Him that we would find our joy, our strength, and our recovery. It is in Him that we may have a hope for a happily ever after.

Be blessed!

sedikit ngoceh saja.

Heiii!!

Akhirnya setelah sekitar tiga minggu saya ngepost lagi. Akan random saja sih postnya, cerita-cerita singkat tentang kesibukan apa yang sudah kulakukan minggu-minggu ini sekembaliku ke Indonesia.

Sejujurnya, aku agak capek juga minggu-minggu ini. Kembali ke Indonesia, memang aku sudah tahu bahwa akan kuhadapi yang namanya Ujian Paket C, pertarungan perebutan beasiswa, dan kesibukan hidup lainnya di kota metropolitan ini. Tapi ketika dijalani, jujur males juga. Kembali dari Brazil yang bersih, indah, dan penuh tanah ladang (oh Parana, betapa kucinta dikau!), datang ke Indonesia, yah, Indonesia.

Teringat lagi sekarang, tanggal 4 September lalu, ketika kali pertama menginjakkan kaki di tanah Indonesia melalui Bandara Soekarno-Hatta, kesesakan udaranya sudah menyakiti paru-paruku. Ternyata udara yang selama ini aku nikmati di Jakarta ini kotor sekali! Menapak masuk pertama kali di rumahku tiga minggu lalu, astaga! Tidak bisa kubayangkan bagaimana aku selama ini bisa bertahan hidup di kotak sesak kurang ventilasi ini!

Ditambah lagi di minggu-minggu pertama tidak ada kegiatan atau perlakuan spesial yang kuterima. Boro-boro mengunjungi pertemuan Rotary Club, sponsorku, Mamaku langsung membawaku berburu beasiswa dan membetulkan laptop ke Ratu Plaza sana. Tidak boleh buang waktu, ujar beliau. Ya sudahlah.

Saat keluar masuk Metro Mini Blok M-Ciledug itu, tanpa kusadari aku membandingkan lagi Indonesia dan Brazil. Aku teringat Curitiba, dengan sistem transportasinya yang begitu bersih, sejuk, dan nyaman. Bis-bis gandeng besar berwarna oranye, dengan halte kapsulnya yang berbentuk lucu dan bersih juga. Lalu kutengok Metro Mini, bis kecil berkapasitas 50-an orang tapi sering dimampatkan hingga 70 manusia lebih di dalamnya. Dompet hilang, pengamen, kriminalitas, pengemudi yang ugal-ugalan... Ugh, jangan bicara kenyamanan lagilah. Transjakarta-pun, yang menjadi kebanggaanku warga Jakarta selama ini, ternyata adalah hasil contekan dari sebuah sistem transportasi serupa di Malaysia dan Brazil. Gubernur kita sampai terbang ke Brazil kok untuk mempelajarinya!

Bukan saya jadi anak muda kagetan, seperti kata Pak SBY yang terhormat, tatkala diprotes seorang putri Indonesia mengenai pemerintahannya yang tidak "sebagus" luar negeri. Bukan, bukan itu. Mungkin saya gerah dan sedikit shock saja, melihat kenyataan hidup di luar sana yang jauh lebih indah, jauh lebih tertata, bahkan di negara seperti Brazil yang notabene kita akan menganggapnya sebagai negara dunia ketiga. Negara tidak masuk hitungan yang (katanya) sama-sama korupnya dengan Indonesia.

Saya bingung, bagaimana di negara saya ini ada orang-orang yang seharinya harus bertahan hidup dengan uang 1-2 US$, sementara di Brazil sana uang segitu paling untuk dibelikan sekaleng bir dengan kembali tiga bungkus permen. Kalau melihat terpuruknya Brazil di masa lampau, tidak ada alasan bagi Indonesia untuk mengasihani diri sendiri!! Brazil juga pernah punya mata uang amburadul, sistem ekonomi yang acak-acakan, pemerintahan yang korup, tapi toh hari ini mereka tegak berdiri?! Kok kita ngga bangkit-bangkit sih?? Di Brazil saya temukan pendidikan gratis, pemerintah yang memperhatikan gizi rakyatnya, transportasi yang aman, air yang bersih, listrik yang stabil... Korupsi memang ada, tapi orang sana tahu malu! Korupsipun masih pada batasnya.

Sebagai warga Indonesia keturunan, saya juga memperhatikan satu budaya yang indah yang mereka miliki, yaitu tenggang rasa antar ras. Meskipun Brazil punya sejarah perbudakan dengan orang kulit hitam, tapi di sana tidak ada lagi rasisme sekarang ini. Kulit hitam, putih, kuning, merah, semua berteman dan membangun negaranya. Seorang Indonesia yang tinggal di Brazil sana menyampaikan, bahwa bahkan jika warga keturunan atau imigran ingin terlibat dalam pemerintahan atau bahkan militer, itu bukan hal yang tidak mungkin di Brazil. Bisa!! Ayo... Kenapa kita tidak mau dewasa sedikit? Ras itu kan hanya warna kulit, bentuk hidung, bentuk mata dan postur tubuh? Di dalamnya kan isinya sama semua... Betulkah?

Yah... Jadi protes politik dan sistem kalau begini caranya. Maafkan saya yah, bulan puasa begini malah bikin panas.

Tentang saya saja deh sekarang. Bulan April tahun depan saya mau mencoba kuliah ke Jepang. Jujur tentang kuliah ini masih membingungkan juga. Saya tertarik untuk ke Jepang sana... Tapi ada rasa takut tentang kultur dan budaya orang Jepang yang dari dulu, jujur, saya anggap aneh. Lagu-lagu pop modern mereka yang mencampur-campurkan Bahasa Inggris dengan Bahasa Jepang, itu terdengar menggelikan di kuping saya. Seperti tanggung saja. Bahasanya-pun tidak terlalu indah didengar, jika dibandingkan dengan Portugis atau Prancis misalnya. Ada banyak sih keuntungan saya berkuliah di universitas ini. Tempat yang bagus, fasilitas yang komplit, dan kenalan dari seluruh Asia Tenggara. Pertukaran budaya, sesuatu yang selalu saya sukai. Tapi dengan Jepangnya sendiri? Hmm... Entahlah.

Masih berdoa juga saat ini apakah ada jalan ke negara lain. Entah Australia, atau, siapa yang tahu, Brazil lagi. Hei... Tunggu dulu. Dulupun Brazil tidak kusukai. Apa mungkin aku akan jatuh cinta pada Jepang nantinya seperti cintaku pada Brazil sekarang? Mungkin, mungkin saja. Orang muda plin-plan, kata mereka.

Jadi apa kegiatanmu sekarang, Samuel? Aku sedang banyak bimbingan belajar, mempersiapkan diri untuk ikutan Paket C nanti. Tidak, tidak nembak. Saya jujur mau ikut tes. Anak Tuhan tidak boleh tembak-tembakan begitulah, tidak halal. Selain bimbel-bimbel itu... Sedikit banyak aku ikutan ke kantor orang tua, mengenal dan mempelajari sedikit sistem perusahaan kami. Tuhan sedang menolong Nice Frame, puji Tuhan.

Jalan-jalan dengan teman-teman tentu tidak dilupakan... Baru Senin lalu aku nonton hemat di Bintaro Plaza tercinta bersama teman-teman. Amanda, Anastasia, Mario, dan Rere. Wah, betapa mereka berubah!! Mungkin karena akupun berubah dalam banyak hal ya... Kusapa gadis-gadis itu dengan ciuman di pipi, ala Brazil. Agak kikuk sih, tapi biarlah. Hahaha... Sudah teman lama, makanya aku berani. Kalau sama orang baru, agak sungkan juga. Tapi bukan itu ah intinya... Maksudnya... Persahabatan itu harus dijaga teman-teman. Tidak boleh terlalu lama kita jauh dan tanpa kontak. Nantinya akan saling melupakan. Hari kemarin luar biasa sih... Apalahi setelahnya aku diantar pulang. Haha!

Yah.. Mungkin itu dulu. Sekedar supaya blogku terupdate nih, sepertinya. Hahaha... Sedang tidak ada bahan kreatif untuk dibahas. Sampai nanti lagi!

Friday, August 17, 2007

Antara Pulang dan Tali-tali Cintaku

Honestly... Yah secara memang dalam menulis sebaiknya kita jujur, meski tidak membeberkan semua fakta, aku ngga yakin apa aku benar-benar ingin pulang.

Tanggal 27 aku akan meninggalkan kota kecil Califórnia ini. Naik bis malam ke São Paulo, di mana tanggal 28-nya Kak Sinta akan menjemputku, dan kami akan menghabiskan waktu beberapa hari di sana, di kotanya. Mengenal kotanya, katanya. Lalu tanggal 2 September aku akan terbang. Terbang tinggi, terbang jauh, sampai mendarat dan dipeluk ciuman sahabat-sahabat dan keluargaku di Soekarno-Hatta, tanggal 4 September. Rencana yang sempurna.

"Aku sudah bosan di sini, Ma." "Tidak ada lagi yang bisa kulakukan." "Aku merasa hidupku tersendat." "Brasil itu dalam beberapa segi sangatlah menyebalkan."

Dalam satu bulan ini seingatku hanya itulah yang kulaporkan ke rumah sebagai berita. Kemudian Mama mengkhawatirkan keberadaanku, Papa melonjak kegirangan karena berarti kepulanganku semakin dekat, dan adikku seperti biasa selalu biasa-biasa saja reaksinya.

Tapi anehnya, semakin dekat hariku pulang, tali-tali cinta yang kulemparkan di sana-sini kini tersambut, dan mengikatku di banyak tempat. Minggu lalu kuhadiri sebuah festival country di Apucarana. Ah, manisnya teman-temanku! Begitu banyak yang menanyakan kabarku, kembali memperhatikanku, memeluk dan melilitku dengan perhatian mereka. Kemarin aku ada di Apucarana, menonton Ratatouille bersama beberapa teman. Filmnya lucu, tapi bukan itu yang istimewa. Saat kami duduk bersama setelah film, menikmati sandwich dan bertukar kata-kata, kembali tali cinta itu menarik keras hatiku. Wajah-wajah sedih itu, rengutan manis dari teman-teman wanitaku... Ah Tuhan, sekarang aku mengerti apa yang Zulaika katakan ketika dia ingin "membawa orang-orang Brasil ini ke Indonesia"!

Friends. Amigos. Teman-teman. Aaaghh!!

Mengapa justru di hari-hari terakhir aku merasa dicintai? Mungkinkah karena aku lebih sering keluar rumah, bertemu lebih banyak orang di hari-hari terakhir ini, dan semakin banyak teman-teman yang "mencintaiku kembali"? Mungkinkah dalam pergaulan orang-orang Brasil ini, yang terpenting hanyalah kesan pertama dan kesan terakhir? Banyak "teman-teman"ku yang kukenal tidak lama, bahkan kami hanya pernah bertemu satu kali, dan ketika kuminta ia menandatangani bendera Brazilku, dituliskannya, "Samuka, grande amigo... meu irmão... uma pessoa super legal..." yang artinya, "Samuel, teman baikku... saudaraku... seorang yang sangat keren..." yang tentu gw baca dengan girang, tapi dalam hati, wadehel...

Kalau memang itu yang terjadi di tempat ini, tidak ada seorangpun di Brasil yang pernah merasakan persahabatan sejati! Bersahabat bagi mereka adalah kedekatan dengan kata-kata manis, yang dipererat dengan pesta-pesta dan berkaleng-kaleng bir. Oh ya, aku yakin ada saja yang benar-benar bersahabat sepertiku di Indonesia dengan sahabat-sahabatku, misalnya, tapi mungkin merekalah minoritasnya.

Teringat kembali juga hal lain, dua hari yang lalu, Ana Paula, saat kami baru keluar dari bioskop, ia bercerita pada kami semua. "Kalian tahu sejak kapan aku tahu Samuel itu orangnya keren?" Dalam hati aku tidak tahu jawabannya. Rasanya persahabatan dan "kekerenan" seorang teman itu tidak bisa dikatakan dengan "sejak kapan" deh. Tapi Ana melanjutkan. "Saat aku kehilangan anjingku, lalu kami ngobrol di Internet dan dia menghiburku dengan cerita lucu tentang anjingnya yang kutuan dan lalu dijual papanya... yang akhirnya dimasak sama yang beli." Well tentu saja tidak sevulgar itu dia berbicara. Kuterjemahkan bebas agar mudah dimengerti.

This is Ana. Ana and the King. Halah halah...

Nah, point-nya di sini... Betapa mudahnya membuat gadis-gadis kaukasian ini terkesan, bila demikian?! Lakukan sesuatu yang manis, hibur mereka di saat yang tepat, dan mereka akan katakan, "kau keren." Entah merekanya yang terlalu polos atau gadis-gadis Indonesia yang menuntut terlalu banyak.

Well, oke. Cukup cerita tentang "cara bersahabat" mereka yang unik di tempat ini. Kembali ke topik awal tadi... Di samping aku merasa berat hati untuk pulang, tapi aku juga tahu banyak tantangan dan hal-hal baru yang menantiku di Indonesia untuk kutaklukkan... Tapi meninggalkan mereka yang kucintai di sini benar-benar membuatku pusing kepala. Hmmm... Tapi tetap aku mesti pulang kan? Kursi di pesawat sudah ditandai, tiket bis ke São Paulo tinggal dibeli... Yah Sam, nikmatilah saja sisa hari ini. Sambil tetap membawa kasih Kristus tentunya. Carpe diem.

Thursday, August 16, 2007

united.in.brazil.


About three weeks ago, on the 28th of July, Hillsong United began their tour in South America. Their first destination was Brazil, coming here the second time, according to what my friends said. Their first destination was Sao Paulo, a huge city which is kinda close to my city here in Brazil, about six hours by car.

I, as... Hmm... can I say "fans"? Well it is some Christian band, and we can't make idol out of anything except Christ. Hahaha... Well.. let's just say supporter. I have been listening Hillsong Church's music for a long time, since Darlene was still a young woman, she still jumped high, and United was still an embryo. So I kinda know a lot about this church and their growth, and of course, their quality of music.

Well I could talk about Hillsong this whole post, but it wasn't the purpose of my writing this time. I am doing a small, a little out dated report about the concert.

I got the ticket for this concert about like, a month before. Brazilian are, when they are crazy about something, they are really crazy about it. OBSESSED. About three or four months before the show, there were already an official website, bunch of fan communities in orkut, Brazil's myspace, where people talk and discuss fan matters, like, does Joel Houston really looks like He-Man and have eyes like fish, is Marty Sampson coming with the United team for this tour, and really many others insignificant (for me) fan matters. It just doesn't feel right for me, I mean, this United thing is not exactly a band, and they are touring around the world is not exactly looking for fans and popularity - although it helps them a lot - but they are traveling around the world to see God call His people back to Him. It's totally not about them, it's about Jesus Christ. I hope these crazy fans' eyes will be opened one day.

So anyway, day 27th, at night, we all went off for our journey to Sao Paulo. There were me, Marcio, Denise, Chico, Camila, and Camila's mother, that made six of us. We went with a van from Londrina, embarking about midnight.

In front of our van, before embarking.

The travel was bumpy in many places, was also cold and tiring, and we went resting in one or two places. Approaching Sao Paulo, about two o'clock in the morning, a police officer stopped us. We were all scared, thinking of the worst to happen, but funny thing was, the police only needed a ride. We agreed to take him to Sao Paulo. "Ajuda com sua segurança tambem," he said. "Helps with your safety too."

It was not because we gave the police officer a lift, of course, but our safety was secured. God was with us. Arrived safely and early in Anhembi Arena, about 7 o'clock in one really foggy and cold morning. To my disbelief, there were already people there, queuing for the line. We stopped and talk, and some even more shocking news, some told us that they've been there since 11 o'clock last night. That is so.. crazy. And it's not that they're crazy about Jesus, I'm sure. They're crazy about the band.

So, seeing there were yet no massive queue formed at the arena, we decided to clean up and freshen up at the mall. We went to Central Norte, a huge mall close to the Anhembi Arena. I had the video, if only the incident with my second host brother that involves the lost of my 1.5 GB of photos and videos didn't happen, I could've shown you the video. But well... What's lost it lost, right?

Well, everybody got freshened up, we went around the mall a little bit, did some shopping (I bought this cool red t-shirt for 25 R$), and finally at lunch time we ate at the foodcourt. It was super expensive. I wasted about 20 R$ for a plate of meal and a glass of sweet tea. Yeah, imagine Jakarta's mall, only with stronger money value.

After lunch, we went back to the arena at about two o'clock. The band was having a check-sound, and it animated me and Camila to be quickly stand on the line. But to my surprise again, there were already this huge line of people, forming about 300 meters. We walked so far from the gate to finally meet the end of the line.

At the line, many things happened. United we stood, united we thirsted, united we hungered, and got tired, from about 2 until 6 PM. The gate was to be opened at 4, but for some reasons, it wasn't opened until 6 PM. And standing there, we talked to many people, found people that are yet even crazier about the band rather than Jesus. They talked about Joel, Marty, and JD as if they were gods, and most of this disappoint me. If United said that the greatest crowd, the most animated ones they found in Brazil, I would say that probably this is because the people are animated about the band, not about Jesus. I didn't find any of these people standing in line maintaining their attitude, some even yell out in anger and frustration when the gate were not being opened, rubbish were being thrown to the ground and traffic are disturbed. No offense to Brazilian United fans, but their attitude is totally different than the polite attitude shown by Indonesian in the United concert last year.

I got to know a Bolivian family. The mother was a Bolivian, and the father (who wasn't there) was a Brazilian. They went to Singapore to study, and their children speaks amazing English. I made friend with Oneide, their oldest daughter, a very nice girl with a godly attitude. This family had this passion about building their own church, and is praying that God will provide everything they needed. It's always amazing to see people that are totally walking in faith.

I also talked to the security guy, through the wall bars. Commented about the members of the United band, he said Jad Gillies is the most annoying one. Putting on serious face all the time, not willing to sign autograph for him, the security guy was so disappointed. On the other hand, he said Joel Houston shown the most sympathy. They talked a lot, shared about church ministry and the band. But yeah, people are different. Maybe Jad is the serious one, and Joel is the happy one, and JD is the mad one, but all of them serve the same God and bear the same purpose.

Well... I'll just skip to the gate opening. As we began to walk into the arena, it started to rain. People bought rain caps, which were only 5 R$ for 2, now they sell it for 1 only. It's amazing how need and money contradicts at this point. We however, bought the cap long before the rain.

The arena was full, large, and open air. It was raining, really cold, and there were fog in the air. But when the band started to play, everything went fun, everyone got heated up and forgot all that.

United started again with the classic Introduction + The Time Has Come. This is cool but in the same time I guess it's disappointing, because it's been like two years must be now, and they should have find a new creative way to start a show. But it was still hip though. People were crazily animated.

We jumped from song to song, then Jad started the worship session with Take All Of Me. All of a sudden, singing this song and taking to heart, I felt a huge mass of presence of God. All of a sudden I felt so alone. Lose all the music, the fans screaming, and even the song, and it's all just me and God.

I think that is indeed the core of worship. It's not about the music, the band, a good song, or even singing itself. Worship is a life that glorifies God, no matter what happen in it. You could worship in the midst of happiness, you could worship in the rain of blessing, but you must more importantly worship through the storm of desperation.

Yeah, to say it short, the rest of the night was awesome, just like every United concert. The worship was marvelous. I felt that day like I found again the reason for living. Like I found again the braveness to stand up for Jesus, to be a difference in my community and daily life. To be a Christian is to be a brave generation, said Phil Dooley. I sure hope many Brazilian will receive the message too, as a brother from Indonesia I really want to see God's movement going on strong through the whole world.

Some shots from the night. It was raining heavily, yet amazing to see all these people gather together for Jesus.

So yeah, the night was great. The concert ended about 11 PM, with three encore songs and a guitar sorting. We didn't participate because we didn't have a pen to write the sorting ticket. Silly, huh. =)

Then we took off. I visited the United stand at the back of the auditorium, bought a T-Shirt, Phil Dooley's teaching CD, and got some information about the Hillsong College. About this last item, honestly, it really interest me a lot to get inside this Hillsong World... to learn from them, to serve with them, and then to bring the knowledge I would get there back to Indonesia. But it's still a thought. I really need to pray more about my future.

So then we go on the van. Another 6 hours journey through the night to get back to our cities. Honestly, I feel blessed, but in the same way I felt sad. I really know that if I go to this concert with my youth friends in Indonesia, in many ways we will reflect on our Christian lives, get something different for our youth group, and be more creative. No offense, but it seems like all that the people in my group paid attention to that day was why Marty Sampson wasn't coming.



But still, this concert was a 10. I really want to be a part of something big like this one day. Faithful, to say? Yeah, sort of. God, thank you for this heart-changing experience. I love You.