Honestly... Yah secara memang dalam menulis sebaiknya kita jujur, meski tidak membeberkan semua fakta, aku ngga yakin apa aku benar-benar ingin pulang.
Tanggal 27 aku akan meninggalkan kota kecil Califórnia ini. Naik bis malam ke São Paulo, di mana tanggal 28-nya Kak Sinta akan menjemputku, dan kami akan menghabiskan waktu beberapa hari di sana, di kotanya. Mengenal kotanya, katanya. Lalu tanggal 2 September aku akan terbang. Terbang tinggi, terbang jauh, sampai mendarat dan dipeluk ciuman sahabat-sahabat dan keluargaku di Soekarno-Hatta, tanggal 4 September. Rencana yang sempurna.
"Aku sudah bosan di sini, Ma." "Tidak ada lagi yang bisa kulakukan." "Aku merasa hidupku tersendat." "Brasil itu dalam beberapa segi sangatlah menyebalkan."
Dalam satu bulan ini seingatku hanya itulah yang kulaporkan ke rumah sebagai berita. Kemudian Mama mengkhawatirkan keberadaanku, Papa melonjak kegirangan karena berarti kepulanganku semakin dekat, dan adikku seperti biasa selalu biasa-biasa saja reaksinya.
Tapi anehnya, semakin dekat hariku pulang, tali-tali cinta yang kulemparkan di sana-sini kini tersambut, dan mengikatku di banyak tempat. Minggu lalu kuhadiri sebuah festival country di Apucarana. Ah, manisnya teman-temanku! Begitu banyak yang menanyakan kabarku, kembali memperhatikanku, memeluk dan melilitku dengan perhatian mereka. Kemarin aku ada di Apucarana, menonton Ratatouille bersama beberapa teman. Filmnya lucu, tapi bukan itu yang istimewa. Saat kami duduk bersama setelah film, menikmati sandwich dan bertukar kata-kata, kembali tali cinta itu menarik keras hatiku. Wajah-wajah sedih itu, rengutan manis dari teman-teman wanitaku... Ah Tuhan, sekarang aku mengerti apa yang Zulaika katakan ketika dia ingin "membawa orang-orang Brasil ini ke Indonesia"!
Mengapa justru di hari-hari terakhir aku merasa dicintai? Mungkinkah karena aku lebih sering keluar rumah, bertemu lebih banyak orang di hari-hari terakhir ini, dan semakin banyak teman-teman yang "mencintaiku kembali"? Mungkinkah dalam pergaulan orang-orang Brasil ini, yang terpenting hanyalah kesan pertama dan kesan terakhir? Banyak "teman-teman"ku yang kukenal tidak lama, bahkan kami hanya pernah bertemu satu kali, dan ketika kuminta ia menandatangani bendera Brazilku, dituliskannya, "Samuka, grande amigo... meu irmão... uma pessoa super legal..." yang artinya, "Samuel, teman baikku... saudaraku... seorang yang sangat keren..." yang tentu gw baca dengan girang, tapi dalam hati, wadehel...
Kalau memang itu yang terjadi di tempat ini, tidak ada seorangpun di Brasil yang pernah merasakan persahabatan sejati! Bersahabat bagi mereka adalah kedekatan dengan kata-kata manis, yang dipererat dengan pesta-pesta dan berkaleng-kaleng bir. Oh ya, aku yakin ada saja yang benar-benar bersahabat sepertiku di Indonesia dengan sahabat-sahabatku, misalnya, tapi mungkin merekalah minoritasnya.
Teringat kembali juga hal lain, dua hari yang lalu, Ana Paula, saat kami baru keluar dari bioskop, ia bercerita pada kami semua. "Kalian tahu sejak kapan aku tahu Samuel itu orangnya keren?" Dalam hati aku tidak tahu jawabannya. Rasanya persahabatan dan "kekerenan" seorang teman itu tidak bisa dikatakan dengan "sejak kapan" deh. Tapi Ana melanjutkan. "Saat aku kehilangan anjingku, lalu kami ngobrol di Internet dan dia menghiburku dengan cerita lucu tentang anjingnya yang kutuan dan lalu dijual papanya... yang akhirnya dimasak sama yang beli." Well tentu saja tidak sevulgar itu dia berbicara. Kuterjemahkan bebas agar mudah dimengerti.
Nah, point-nya di sini... Betapa mudahnya membuat gadis-gadis kaukasian ini terkesan, bila demikian?! Lakukan sesuatu yang manis, hibur mereka di saat yang tepat, dan mereka akan katakan, "kau keren." Entah merekanya yang terlalu polos atau gadis-gadis Indonesia yang menuntut terlalu banyak.
Well, oke. Cukup cerita tentang "cara bersahabat" mereka yang unik di tempat ini. Kembali ke topik awal tadi... Di samping aku merasa berat hati untuk pulang, tapi aku juga tahu banyak tantangan dan hal-hal baru yang menantiku di Indonesia untuk kutaklukkan... Tapi meninggalkan mereka yang kucintai di sini benar-benar membuatku pusing kepala. Hmmm... Tapi tetap aku mesti pulang kan? Kursi di pesawat sudah ditandai, tiket bis ke São Paulo tinggal dibeli... Yah Sam, nikmatilah saja sisa hari ini. Sambil tetap membawa kasih Kristus tentunya. Carpe diem.
|