Sore ini, tiba-tiba terkenang tentang delapan bulan lalu. Ketika tanah yang kujejak masihlah tanah merah bumi pertiwi. Ketika Indonesia kutinggalkan, dan air mata bertaburan untuk dan olehku. Pelukan dibuat dan dilepaskan. Hati terkoyak.
Kembali ingat betapa tangisku pecah di pelukan Mama. Betapa adikku tak hentinya menangisiku dan meragukan keberaniannya melepasku berhari-hari sebelum keberangkatanku. Papa yang tetap tegar dan menjadi sandaran mereka berdua. Teman-teman, oh teman-temanku, kalian tidak pernah tahu betapa aku dikuatkan dan juga dikoyakkan oleh keberadaan kalian!
Di gerbang akhir airport, tempat aku berjalan menjauhi keluargaku yang mengantarku, oh, tahukah kalian betapa matinya kakiku, betapa mereka menolak digerakkan jauh dari pandangan-pandangan kasih dan air mata mereka? Namun kakiku melangkah juga. Langkah kecil menuju kedewasaan.
Terduduk di pesawat. Air mata kuhapus perlahan. Macbook kunyalakan. Tulisanku yang pertama di atas pesawat lahir. Say Goodbye dari S Club 7 berdengung berulang-ulang, mewakili suara hatiku.
Hari bersejarah itu, tanggal 27 November 2007, hari yang disertai malam panjang penuh kesepian dan pedihnya hati, tapi keyakinan bahwa kami akan bertemu lagi suatu hari sambil tertawa dan menyambut peluk.
Yah, sebut aku seorang perenung dan nostalgis. Hampir air mata menetes lagi, betapa hati teriris mengenang malam sedih itu, betapa jauhnya aku dari mereka sekarang.
Tadi waktu mandi sore, aku teringat dan menyenandungkan lagu ini di tengah air yang suam dan udara yang membeku.
agar kami beroleh hati bijaksana
ajar kami Bapa, hidup dalam jalan-Mu
agar semua rencana-Mu digenapi
mulialah nama-Mu Tuhan, dan ajaib jalan-Mu
bimbing kami di setiap waktu
besar setia-Mu Tuhan, agunglah karya-Mu
Yesus kami bersyukur pada-Mu
Entah bagaimana, hinu klasik yang ditulis Robert & Lea terekam di memoriku beberapa tahun lalu dan terputar indah kembali hari ini. Hari-hari ini, di saat rasa kangenku sedang kuat-kuatnya. Di saat hari kepulanganku sudah bisa terhitung.
Ya, kata itu. Hitung.
Di Brazil, rasanya begitu lambat waktu berlalu pada awalnya. Aku yang jauh dari mana-mana, kesepian, bagaikan bisu karena tidak mengerti Portugis, dan patahnya semangatku di mana seolah-olah seorangpun tidak mengertinya.
Lalu datang hari-hari sekolah. Hari-hari aku mulai membuka mulut dan berbicara, dengan Portugisku yang terbata-bata, bagaikan anak kecil yang belajar melangkah. Aku bangkit, melangkah perlahan, lalu mulai berlari.
Saat mulai berlari, seakan aku lupa menghitung. Jauh, jauh dan semakin jauh, dari berjalan, berlari, akupun terbang. Dan akhirnya tibalah aku di hari ini. Hari di mana aku melihat kembali ke belakang, mengamati jejak-jejakku yang kutinggalkan. Baik dalam memori di ingatan orang-orang, dalam jurnal-jurnal kertas dan elektronikku.
Sudah delapan bulan sekarang. Rasanya baru kemarin aku kehilangan pasport dan 900 US$ di Guarulhos, São Paulo, dan menemukannya kembali. Rasanya belum lama aku belajar Portugis, sepertinya masih kemarin aku datang, sebagai seorang putra Indonesia yang tidak berpengalaman, sangat kanak-kanak, dan lugu. Seperti baru beberapa minggu lalu aku diajak menginjakkan kaki di Califórnia. Sudah delapan bulan.
Seorang sahabatku baru-baru ini pindah ke Australia. Higher education, katanya. Belum sebulan dari empat tahun ia di sana, ia kangen berat dengan kami, dengan Indonesia. Berapa kali kudengar aduan dan sakitnya di Friendster, rindunya dengan makanan, teman-teman, dan hidupnya di Indonesia.
Mengingatkanku akan diriku, di awal-awal bulanku di tempat ini. Dulu aku begitu takut, khawatir akan ini itu, tapi puji Tuhan aku punya Tuhan yang mengasihiku. Aku lewati hari demi hari, kadang dengan kebingungan akan tujuanku, dan akhirnya tibalah pada sekarang.
Dan kini, satu bulan lagi. Lima minggu tepatnya. Sudah berapa jauh aku bertumbuh, aku tidak tahu. Hari-hari sudah terhitung. Tuhan tahu betapa aku rindu Indonesia. Rindu pulang, mengembalikan pelukan-pelukan cinta yang kubawa pergi tahun lalu, menghapus air mata dan penantian mereka dengan senyuman.
Tapi kembali terefleksi, apakah tujuan Tuhan terpenuhi dalam hidupku di tempat ini? Dalam banyak hal aku bertumbuh, dalam banyak hal aku mengembangkan cabang. Terbuka mata, terbuka telinga dan juga mulut, terhadap dunia. Bagai tanaman kecil, aku menguatkan akar-akarku dan bersiap menjadi pohon. Ataukah aku masih sebutir benih yang menolak pecah dan mati, untuk lahirnya tanaman baru?
Tuhan, biarlah sisa ini bermakna.
|